Perusahaan Pemasok RAPP Diduga Dalang di Balik Konflik Koperasi Koto Intuak, Berpotensi Babat Hutan Alam

by

EKONOMIPOS.COM, PEKANBARU – Warga di Desa Pulau Padang, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, berkonflik dengan pengurus Koperasi Koto Intuak, karena program koperasi ini berpotensi membabat habis hutan alam di desa itu.

Koperasi Koto Intuak mendapatkan izin Hutan Kemasyarakatan (HKm) pada 2018 dengan SK. 4433/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.O/6/2018 seluas 1.565 hektare.

Laporan Jikalahari menemukan, APRIL Group melalui PT Nusa Prima Manunggal (NPM) —  perusahaan pemasok PT RAPP — berpotensi melakukan penebangan hutan alam di areal milik koperasi dengan memanfaatkan skema HKm ini.

Bahkan diketahui, sejumlah alat berat sudah masuk dekat area, namun diusir keluar oleh Kepala Desa Pulau Padang Arrindo.

“Saya dapat laporan dari warga, ada orang luar yang memasang patok di kawasan itu. Saya menghubungi pihak koperasi meminta agar aktivitas itu tidak dilakukan karena ilegal,” ungkapnya.

Selang beberapa minggu kemudian, Arrindo kembali dapat laporan dari warga, bahwa mereka melihat ada 2-4 unit alat berat diturunkan di sekitar kawasan itu yang diduga akan dipakai untuk menebang hutan dan membersihkan lahan. “Saya hubungi pihak koperasi dan meminta agar alat berat itu dikeluarkan secepat mungkin,” ujarnya.

Arrindo menduga, dimasukannya alat berat itu, atas perintah dari pihak Koperasi Koto Intuak — yang diduga sebelumnya mereka sudah berkoordinasi dengan pihak PT NPM.

Mendatangkan alat berat untuk kegiatan penebangan kayu dan pembersihan hutan merupakan tindakan yang dianggap ilegal, karena memang belum ada dokumen UKL-UPL (Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup).

Dokumen ini merupakan rujukan secara teknis setiap pekerjaan yang akan dilakukan Koperasi Koto Intuak di area HKm. Untuk mendapatkan UKL-UPL, tahapannya berjenjang dari bawah. Salah satunya, harus ada rekomendasi dari kepala desa. Setelah UKT-UPL selesai barulah bisa disusun Rencana Kerja Tahunan (RKT) koperasi.

Sedangkan masalah ini sudah terbentur di Kepala Desa Pulau Padang yang tidak ingin mengeluarkan rekomendasi untuk penerbitan dokumen  UKL-UPL.

Alasan Arrindo, rekomendasi itu tidak bisa dikeluarkan karena warga sudah menolak, sebab apa yang akan dilakukan oleh Koperasi Koto Intuak sangat merugikan masyarakat Pulau Padang dan dianggap bertentangan dengan konsep HKm.

Sejak awal, gelagat itu sudah terbaca dari UKL-UPL yang diusulkan koperasi ke pihak Desa Pulau Padang, di mana area hutan alam yang ada akan diganti dengan tanaman akasia jenis ekaliptus (eucalyptus). Sedangkan dalam konsep HKm tidak membenarkan itu.

Salah satu poin dalam SK HKm itu, menyebut pemanfaatan hutan bisa dilakukan dengan tebang pilih. Artinya setiap kayu yang ditebang akan diganti dengan tanaman hutan lainnya. Seperti kayu jenis jernang, meranti, ramen, sialang, dan tanaman hutan lainnya.

Sedangkan dalam usulan koperasi, tanaman yang diusulkan adalah kayu akasia — jenis tanaman sebagai bahan baku pembuatan kertas.

Tanaman akasia tidak bisa tumbuh dengan baik jika menggunakan skema tebang pilih. Dengan demikian seluruh hutan alam di area ini harus ditebang dan digundulkan, untuk mendapatkan hasil panen maksimal.

“(Persekongkolan) antara koperasi dengan NPM — perusahaan pemasok PT RAPP — sudah kelihatan, bahwa hutan kemasyarakatan itu akan dijadikan tanaman akasia. Kemana lagi kayu-kayu itu (disuplai) kalau bukan dipasokkan ke RAPP,” kata Arrindo.

Hutan ‘Perawan’ Jadi Habitat Satwa Liar

Ekonomipos.com bersama Eyes on the Forest dan beberapa media lain melakukan penelusuran ke pinggiran hutan seluas 1.565 hektare itu (HKm Koperasi Koto Intuak) pada 15 September 2020. Ada dua jalur yang bisa ditempuh untuk mencapai lokasi HKm ini.

Pertama dari jalur Desa Pulau Padang, namun aksesnya terbatas dan tidak bisa ditembus dengan mobil double cabin. Hanya bisa dilewati dengan sepeda motor.

Akses masuk jalur lain yakni melalui jalan PT RAPP Sektor Petai. Jarak dari Desa Pulau Padang ke lokasi jika sekitar 40 kilometer. Kontur tanah yang dilewati berlobang namun bisa dilintasi dengan mobil double cabin.

Sepanjang jalan masuk terlihat hamparan sawit dan akasia yang lebih dulu ditanam. Semakin dekat ke lokasi semakin terlihat hamparan rumpun-rumpun akasia dan ekaliptus (eucalyptus) yang masih berusia muda.

Area yang boleh dijadikan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang sudah mengantongi izin HKm itu berada di atas perbukitan tanah mineral dan bebatuan. Masih sangat rimbun dan rapat.

“Warga menyebutnya ‘hutan perawan’, karena memang belum tersentuh aktivitas manusia dan belum ada satupun akses masuk ke dalam hutan itu,” kata Sisrianto, seorang yang dianggap tokoh masyarakat di Desa Pulau Padang.

Dari titik ini, berdasarkan pengamatan Ekonomipos.com di lokasi, hutan itu berbatasan langsung dengan lahan milik PT RAPP. Hutan ini memiliki tegakan kayu dengan ketinggian lebih 50 meter dan sangat rapat.

Menurut Jikalahari, yang sebelumnya lebih dulu melakukan pengamatan di sekitar hutan, masih ditemukan jejak harimau, beruang dan babi yang menandakan hutan tersebut merupakan habitat bagi satwa liar.

Keterlibatan PT NPM dalam Pengurusan HKm

Informasi mengenai dugaan campur tangan PT Nusa Prima Manunggal (NPM) — yang terafiliasi dengan APRIL Group (perusahaan pemasok PT RAPP) — sudah muncul dari keterangan yang dibeberkan oleh Kepala Desa Pulau Padang Arrindo.

Dugaan itu kian diperkuat dengan akan ditanam akasia jenis ekaliptus, menggantikan hutan alam yang ada. Menurut Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari Apriyan Sagita yang akrab disapa Aldo, izin HKm tidak bisa dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan jika pada pengajuan awal, tanaman akasia yang diusulkan.

Penggiat lingkungan ini juga meyakini bahwa HKm dimanfaatkan pihak perusahaan untuk perluasan kawasan, setelah pemerintah melakukan moratorium.

Terhadap dugaan adanya kepentingan PT NPM dengan memanfaatkan Koperasi Koto Intuak semakin terkuak berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), melalui Kepala UPT Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Kabupaten Kuantan Singingi Abriman.

Soal awal mula bagaimana duduk perkara ini — kemitraan Koperasi Koto Intuak dan PT NPM — dia mengaku memang tidak diketahui secara pasti, karena izin HKm ini sudah berproses jauh sebelum dia duduk menjabat posisi Kepala UPT KPH Kuansing.

“Karena memang urusannya dengan kepala yang lama. Saya baru dilantik pada awal 2020,” kata Abriman kepada Ekonomipos.com, Selasa, 15 September 2020 di ruang kerjanya.

Namun Abriman membenarkan bahwa pihak Koperasi Koto Intuak dan PT NPM pernah bersama-sama berkonsultasi untuk meminta petunjuk penyelesaian agar mereka bisa segera dapat rekomendasi dari Kepala Desa Pulau Padang.

“Yang saya tahu sejak awal antara koperasi dan NPM sudah bekerjasama sejak awal,” sambungnya.

Dia tidak mengetahui secara pasti mengapa pola kemitraan antara koperasi dengan PT NPM harus menanam akasia jenis ekaliptus. Karena tanaman itu tidak sesuai dengan skema HKm. Menurut Abriman, bisa jadi antara kedua belah pihak sudah menyepakati sejak awal mula proses pengajuan HKm itu.

“Benar itu dan saya tahu (konflik antara koperasi dengan warga Pulau Padang). Itulah kenapa harus muncul tanaman akasia. Ada kesepakatan dari keduanya, entah itu tertulis atau tidak saya tidak tahu. Tapi mereka mengakui kepada saya secara langsung,” ungkapnya.

Pihak koperasi dan PT NPM pernah menemui Abriman untuk membicarakan masalah ini, sekitar April 2020 lalu. Komunikasi yang terjalin cenderung via telepon. Meskipun beberapa kali Ketua Koperasi Koto Intuak Jon Herman sudah bertemu langsung dengannya.

Menurut penjelasan Abriman, beberapa kali pihak koperasi dan PT NPM, meminta kepada UPT KPH membantu percepatan proses UKT-UPL yang rekomendasi secara administratif, terkendala di Kepala Desa Pulau Padang.

“Mereka meminta KPH fasilitasi untuk HKm supaya pihak desa bisa menandatangani rekomendasi. Saya jelaskan ke mereka, kalau saya tidak bisa terlalu jauh untuk fasilitasi karena itu masalah intern. Makanya saya tak bisa ikut campur.”

“Yang jelas, respon saya ketika itu, tergantung RKT-RKU Koperasi. Kalau memang usulan menanam akasia tidak melanggar ketentuan, ya, menurut saya tidak masalah. tapi sampai sekarang RKT dan RKU-nya belum tahu saya. mungkin belum ada.

Abriman juga heran mengapa konflik antara pengurus Koperasi Koto Intuak dan masyarakat di Desa Pulau Padang baru muncul belakangan ini, setelah SK HKm dari Kemen-LHK dikeluarkan. Harusnya — jika memang ada ketidakcocokan — muncul pada waktu awal mula direncana pengajuan HKm.

Dalam situasi seperti ini, dia menyetujui bahwa pola yang harusnya dilakukan koperasi merujuk pada skema dalam HKm itu. Bukan hutan alam diganti dengan tanaman akasia jenis ekaliptus. “Memang lebih bagus seperti itu (sesuai skema di HKm) untuk hutannya, agar terjaga,” kata Abriman.

Informasi mengenai kedekatan antara pihak perusahaan dengan Koperasi Koto Intuk, yang diketahui Abriman hanya sebatas itu. Orang-orang yang terlibat dalam tim Verifikasi Teknis (Vertek) juga sudah banyak keluar, pindah tugas dan ada yang pensiun.

Namun masih ada satu anggota Vertek yang masih bertugas di UPT KPH Kuansing. Namanya Nemora. Darinya didapat informasi bahwa awal pengurusan HKm Koperasi Koto Intuak memang bukan untuk tanaman akasia, namun pengayaan hutan dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

Jika merujuk pada informasi Nemora, artinya keberadaan HKm sama sekali tidak akan merusak hutan alam yang ada di kawasan itu.

Misalnya dengan pola pengayaan hutan, bisa kembangkan dalam bentuk ekowisata, atau menanam tanaman pohon menghasilkan, seperti durian dan sejenisnya.

Sedangkan pola HHBK lebih kepada pemanfaatan hasil dari hutan, seperti damar, madu, ataupun buah-buah hutan yang memang sudah ada.

“Jadi, sejak awal HKm diusulkan memang bukan tanaman akasia di kawasan itu. Pemanfaatannya hanya pengayaan hutan dan HHBK. Karena kami memang diarahkan seperti itu dari tim verifikasi pusat. Saya juga tak tahu kenapa bisa jadi tanaman akasia (yang disepakati oleh koperasi dan PT NPM),” ujarnya.

Mengenai ‘ada hubungan spesial’ antara Koperasi Koto Intuak dengan PT NPM — sebagai perusahaan pemasok RAPP — sejauh sepengetahuan Nemora, secara formal memang pihak perusahaan tidak pernah menyatakan langsung.

“Tapi saya tahu kalau mereka adalah orang perusahaan (NPM), dan ikut dalam tahapan proses (izin HKm),” katanya.

Dugaan Kepentingan PT NPM (APRIL Group) di Balik Koperasi

Salah satu nama dari petinggi PT Nusa Prima Manunggal (NPM) yang muncul yakni Chairul. Jabatannya di perusahaan pemasok untuk RAPP ini sebagai Hubungan Masyarakat (Humas). Ketua Koperasi Koto Intuak Jon Herman juga bercerita panjang lebar bagaimana Chairul, ‘mengambil peran’ dalam pengurusan HKm untuk koperasi yang dipimpinnya.

“Koperasi berdiri tahun 2014. Kegiatan koperasi bergerak di bidang perkebunan. Saat itu, koperasi tak ada dana untuk kegiatan mengeluarkan kayu (hutan alam). Akhirnya, dicarilah mitra koperasi. PT NPM menyanggupi menjadi mitra. Tapi, ya itu. Kayu yang akan ditanam adalah jenis ekaliptus atau akasia,” ungkapnya.

Jon Herman juga mengakui bahwa awal mula pengurusan HKm untuk koperasi ini di dukung penuh oleh Chairul dari PT NPM punya peran penting. Segala bentuk administrasi hingga perjalanan ke Jakarta, Chairul yang handel. Dia mengaku dirinya dan pengurus inti koperasi hanya sebatas untuk melengkapi hal-hal lain secara administratif, jika dibutuhkan dalam proses pengurusan izin HKm.

Sejak awal kata sepakat untuk bermitra diikrarkan, komunikasinya dengan PT NPM melalui Chairul sangat intens. “Bahkan sampai sekarang masih berkomunikasi dengan baik,” katanya.

Menurut Jon Herman, dari awal pengurusan HKm, dibantu penuh oleh perusahaan itu. Koperasi hanya terima bersih. “Mereka meminta segala bentuk administrasi yang kurang untuk dilengkapi, semuanya kami serahkan ke mereka (NPM). Sampai izin HKm itu keluar,” ungkapnya.

Sementara itu, terkait dengan tanaman akasia yang akan dijadikan tanaman pengganti di HKm, juga merupakan usulan dari PT NPM (sebagai perusahaan pemasok RAPP), sebagai salah satu syarat bermitra dengan koperasi, dengan pola ‘tebang ganti’ (tebang hutan ganti akasia).

Terkait soal tudingan Kepala Desa Pulau Padang, bahwa pihak Koperasi Koto Intuak yang mengutus orang luar untuk memasang patok, dan memasukkan alat berat, kata Jon Herman, itu hanya masalah mis komunikasi yang bocor.

Humas PT NPM (APRIL Group) Bantah Tudingan

Humas PT Nusa Prima Manunggal (NPM – APRIL Group) Chairul membantah bahwa mereka punya hubungan dengan Koperasi Koto Intuak terkait persoalan ini. “Koperasi  punya izin tersendiri,” ungkapnya saat dihubungi Ekonomipos.com, Jumat, 18 September 2020.

Dia juga membantah keterlibatan PT NPM membantu pengurusan izin HKm untuk Koperasi Koto Intuak. “Ndak, ndak. Ndak ada. Ok, ok ya,” ungkapnya singkat dan langsung mematikan sambungan seluler. (ekp2)