WARALABA: Pertumbuhan Lambat, Ini Penyebabnya

by

EKONOMIPOS.COM (EPC),JAKARTA—Meski memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, pertumbuhan waralaba relatif rendah.

Ketua Umum Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar mengatakan jumlah franchisor alias pemilik waralaba bertambah hanya 2% per tahun. Sementara, pemilik business opportunity (BO) lebih tinggi yakni menyentuh 8% per tahun.

Menurut dia, rendahnya peningkatan jumlah franchisor antara lain terkait dengan kultur masyarakat Indonesia yang senang dengan segala hal berbau instan. Sementara, di sisi jumlah konsumen, Indonesia merupakan pasar yang besar.

“Padahal, BO itu tidak tahan lama bisnisnya, tidak lebih dari 2 tahun. Banyak yang masih BO mengklaim bisnis yang dimiliki adalah waralaba, padahal bukan. Waralaba itu minimal bertahan dan menguntungkan selama 5 tahun,” papar Anang, Selasa (11/10).

AFI mengutip data Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menyebutkan jumlah waralaba di Indonesia saat ini lebih dari 600 franchise. Dari jumlah itu, 400 di antaranya merupakan waralaba asing dan 120-200 lainnya adalah franchise lokal.

Adapun jumlah gerai disebut menyentuh 24.400 outlet dengan total omzet sebesar Rp172 triliun pada 2015. Tetapi, jumlah waralaba yang telah mempunyai Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) baru 360. Rinciannya, 308 berupa franchise asing dan 52 sisanya waralaba dalam negeri.

Selain itu, dukungan dari pemerintah di daerah dipandang masih minim sehingga sosialisasi mengenai bisnis waralaba yang benar di daerah-daerah tidak mendapatkan hasil yang maksimal.

Anang menuturkan salah satu cara mendorong pertumbuhan waralaba lokal adalah dengan mengembangkan konsep micro franchising.

“Waralaba yang sudah besar-besar harganya mahal. Kami usulkan gunakan konsep micro franchising supaya masyarakat bisa dapat harga lebih murah,” terang dia.

Dengan konsep ini, pemerintah bisa mendorong pemilik usaha yang sudah mapan dan terkenal di daerah untuk diwaralabakan. Lantaran skala usahanya belum sebesar franchise dengan ratusan gerai, maka harganya bisa lebih murah dan bakal menarik lebih banyak calon franchisee.

Pihak pemilik juga mendapat keuntungan karena usahanya bisa ditemukan di lebih banyak lokasi dan menambah basis konsumen, tapi biaya ekspansi yang dikeluarkan dari kantong sendiri bisa dikurangi.

Faktor keterkenalan usaha tersebut akan menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen. Sektor yang dinilai paling mudah untuk diwaralabakan dengan konsep ini adalah kuliner. Misalnya nasi uduk yang terkenal di Jakarta atau soto yang paling ramai didatangi di Surabaya.

Direktur Bina Usaha Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Fetnayeti sebelumnya mengungkapkan konsep micro franchising bakal dimasukkan dalam roadmap waralaba nasional yang saat ini tengah disusun.

Konsep tersebut diharapkan dapat membantu pelaku usaha lebih mudah dalam mendapatkan pendanaan murah karena saat ini pemerintah sedang menggencarkan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR).

 

(Bisnis)