Benarkah Biaya Haji Indonesia Termurah se-Asia Tenggara?

by

EKONOMIPOS. COM —Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Indonesia adalah yang paling murah di antara negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN yang mengirimkan jemaah haji ke Arab Saudi. Hal ini ditegaskan oleh Sekretaris Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Ramadhan Harisman.

“Hasil kajian kami, dalam rentang 2015 – 2018, BPIH Indonesia adalah yang paling rendah dibanding Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Ketiganya adalah negara dengan jemaah haji terbesar di ASEAN. Meski jumlah jemaah Indonesia jauh lebih banyak ketimbang tiga negara tersebut,” ujar Ramadhan Harisman di Jakarta, Senin (28/1/2019).

Menurutnya, dalam empat tahun terakhir, rata-rata biaya haji Brunei Darussalam berkisar di atas US$.8000. Perinciannya, US$8.738 ( pada 2015), US$8.788 (2016), US$8.422 (2017), dan US$8.980 (2018).

Untuk Singapura, rata-rata di atas US$5.000, yakni US$5.176 (2015), US$5.354 (2016), US$4.436 (2017), dan US$5.323 (2018). Sementara Malaysia, rata-rata biaya haji sebesar US$2.750 (2015), US$2.568 (2016), US$2.254 (2017), dan US$2.557 (2018).

Adapun, rata-rata BPIH Indonesia pada 2015 sebesar US$2.717. Sementara tiga tahun berikutnya adalah US$2.585 (2016), US$2.606 (2017), dan US$2.632 (2018).

Secara sekilas, sambungnya, BPIH Indonesia terlihat lebih tinggi dari Malaysia, walaupun sebenarnya lebih murah. Sebab, dari biaya yang dibayarkan jemaah, ada US$400 atau setara SAR 1.500 yang dikembalikan lagi kepada setiap jemaah sebagai biaya hidup di Tanah Suci.

“Saat pelunasan, jemaah membayar BPIH yang di dalamnya termasuk komponen biaya hidup. Komponen biaya tersebut bersifat dana titipan saja. Saat di asrama haji embarkasi, masing-masing jemaah yang akan berangkat akan menerima kembali dana living cost itu sebesar SAR 1.500,” jelasnya.

Jadi, secara riil biaya haji yang dibayar jemaah haji Indonesia adalah US$2.312 (2015), US$2.185 (2016), US$2.206 (2017), dan US$2.232 (2018).

Meski biaya haji Indonesia lebih rendah, tetapi layanan kepada jemaah haji tetap menjadi prioritas utama Pemerintah dan DPR. Hal ini, kata Ramadhan, antara lain ditandai dengan terus meningkatnya kualitas akomodasi jemaah, baik di Makkah maupun Madinah.

Sejak 4 tahun terakhir hotel yang ditempati jemaah minimal berkualitas setara bintang 3. Selain itu, layanan konsumsi juga terus meningkat dalam 4 tahun terakhir.

Kalau pada tahun 2015, jemaah mendapat layanan 12 kali makan di Makkah, jumlah ini bertambah menjadi 15 kali di 2016, 25 kali di 2017, dan 40 kali di 2018.

“Dari sisi kualitas, Pemerintah juga mensyaratkan para penyedia konsumsi untuk memperkerjakan chef (juru masak) serta bumbu masakan dari Indonesia,” tegasnya.

Selain itu, kualitas tenda di Arafah juga menjadi perhatian utama untuk ditingkatkan. Keberadaan tenda-tenda di Arafah merupakan suatu hal yang vital bagi Jemaah haji karena para jemaah berada di dalamnya selama kurang lebih dua hari satu malam.

Selain digunakan untuk berteduh di tengah suhu yang bisa mencapai 50 derajat celcius di siang hari, tenda di Arafah juga berfungsi untuk memberi kenyamanan istirahat para jemaah pada malam hari menjelang wukuf.

“Tahun ini, diharapkan seluruh tenda dapat dilengkapi dengan AC sehingga kenyamanan jemaah akan semakin meningkat,” ucapnya.

Peningkatan layanan juga dilakukan di Madinah. Sejak 2018, sebagian akomodasi di Madinah sudah dilakukan dengan sistem sewa semusim penuh.

Meski ada kenaikan biaya sewa dari rata-rata SAR850 menjadi rata-rata SAR1200, sistem ini menguntungkan jemaah. Sebab, dengan pola sewa semusim penuh, maka sudah ada kepastian sejak di Tanah Air mengenai hotel-hotel yang akan ditempati jemaah selama di Madinah.

Selain itu, proses pemindahan jemaah dari Madinah ke Mekkah atau sebaliknya juga dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi sehingga lebih nyaman bagi jemaah.

“Tahun 2019 akan ada penigkatan prosentase penyediaan akomodasi di Madinah dengan pola sewa semusim penuh secara signifikan, sehingga kenyamanan jemaah diharapkan makin meningkat,” sambungnya. (Bisnis)