Saat Utang Valas Jadi Masalah

by

EKONOMIPOS.COM – Setiap perusahaan ingin selalu tumbuh dan berkembang dari tahun ke tahun. Untuk berkembang itu, perusahaan membutuhkan ketersediaan dana yang bisa digunakan untuk membiayai ekspansi. Sumber dananya bisa didapat dari laba perusahaan tahun sebelumnya, suntikan modal dari pemilik, penerbitan saham baru, penarikan kredit dari bank, penerbitan obligasi, maupun Utang Luar Negeri (ULN).

Utang Luar Negeri dalam valas memang menawarkan bunga lebih rendah dibanding pinjaman dalam Rupiah. Namun perlu disadari, perusahaan akan menghadapi risiko nilai tukar bila memiliki sumber pendapatan dalam Rupiah. Saat jatuh tempo dan dollar AS (USD) menguat terhadap mata uang global (termasuk Rupiah), utang valas itu akan menekan, bahkan bisa menghilangkan margin keuntungan perusahaan.

Hal ini karena perusahaan akan membutuhkan Rupiah yang lebih banyak untuk melunasi utang valas yang jatuh tempo itu. Risikonya akan semakin meningkat jika perusahaan menarik pinjaman valas dengan tenor panjang.

Misalkan saja, sebuah perusahaan melakukan penarikan ULN USD tenor 5 tahun pada 2019 untuk membiayai pembangunan pabrik baru dengan masa konstruksi 2 tahun. Barang yang dihasilkan dari pabrik ini akan dijual dalam Rupiah ke pasar dalam negeri. Perusahaan memproyeksikan keuntungan dari beroperasinya pabrik pada tahun ketiga hingga kelima akan mampu membayar semua pokok maupun bunga.

Saat itu, perusahaan mengasumsikan nilai tukar USD terhadap Rupiah dalam 5 tahun ke depan tidak akan berubah signifikan. Namun faktanya, dari 2010 hingga 2015, mata uang USD menguat cukup tinggi. Akibatnya, perusahaan bisa saja tidak memiliki cukup Rupiah untuk membayar utang USD yang jatuh tempo, meski target penjualan tercapai.

Bank Mandiri memiliki solusi untuk mengatasinya melalui salah satu produknya Cross Currency Swap (CCS). Dengan melakukan transaksi CCS dengan Bank Mandiri, perusahaan bisa memitigasi risiko nilai tukar. CCS sendiri merupakan kontrak antara dua pihak untuk saling mempertukarkan sejumlah pokok dan bunga dalam mata uang berbeda untuk jangka waktu tertentu.

Intinya, CCS akan membantu perusahaan mengkonversi kewajiban pinjaman valasnya menjadi kewajiban Rupiah. Di mana, bunga USD yang diterima dari Bank Mandiri akan mengcover pembayaran kewajiban bunga USD kepada kreditur di luar negeri. Sebaliknya, kewajiban perusahaan akan berubah menjadi melakukan pembayaran cashflow Rupiah kepada Bank Mandiri.

Ketika pinjaman jatuh tempo, Bank Mandiri yang akan mengcover kewajiban pembayaran pokok USD perusahaan, sedang perusahaan akan memiliki kewajiban baru berupa pembayaran pokok Rupiah kepada Bank Mandiri. Artinya, outstanding utang luar negeri USD telah dikonversi menjadi pinjaman dalam mata uang Rupiah, sehingga sesuai dengan mata uang pendapatan perusahaan. Dengan demikian, perusahaan tidak lagi menghadapi risiko nilai tukar.(tempo)