Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bersiap menerapkan kebijakan tarif timbal balik terhadap berbagai mitra dagang AS. Langkah ini menjadi bagian dari upayanya untuk menyeimbangkan hubungan perdagangan global yang menurutnya merugikan AS.
Menurut laporan Bloomberg, Trump telah menandatangani peraturan yang menginstruksikan Perwakilan Dagang dan Menteri Perdagangan AS untuk mengusulkan tarif baru bagi masing-masing negara.
Kebijakan ini bertujuan mengoreksi perbedaan bea masuk serta hambatan non-tarif seperti subsidi tidak adil, regulasi, pajak pertambahan nilai (PPN), nilai tukar, dan perlindungan kekayaan intelektual yang lemah.
Calon Menteri Perdagangan pilihan Trump, Howard Lutnick, mengatakan bahwa kajian terhadap kebijakan ini akan rampung pada 1 April 2025. Setelahnya, Trump dapat langsung mengambil keputusan untuk menerapkan tarif tersebut.
Dalam memo yang didistribusikan Gedung Putih, kebijakan ini tidak hanya ditujukan untuk menyesuaikan tarif impor dari negara-negara mitra, tetapi juga menanggapi berbagai hambatan perdagangan yang diberlakukan terhadap produk AS. Trump menegaskan bahwa kebijakan ini adalah bentuk keadilan.
“Saya telah memutuskan bahwa negara mana pun yang mengenakan tarif kepada AS akan mendapatkan perlakuan serupa. Selama ini, mereka mengenakan biaya yang jauh lebih besar kepada kita, tetapi masa-masa itu sudah berakhir,” ujar Trump dalam konferensi pers di Ruang Oval.
Trump menyebut tarif tambahan akan dikenakan pada sektor-sektor strategis seperti otomotif, semikonduktor, dan farmasi. Ia juga menyoroti kebijakan tarif Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan yang menurutnya telah merugikan AS.
Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari strategi negosiasi Trump, mirip dengan pendekatan yang digunakan dalam kesepakatan dagang dengan Meksiko, Kanada, dan Kolombia. Trump disebut bersedia menurunkan tarif jika negara-negara mitra mengurangi bea masuk mereka atau menghapus hambatan perdagangan lainnya.
Langkah ini berpotensi memicu gejolak dalam sistem perdagangan internasional, terutama bagi negara-negara berkembang yang cenderung memiliki tarif impor lebih tinggi terhadap produk AS. Beberapa analis menilai kebijakan ini bisa menjadi ancaman bagi prinsip perdagangan bebas yang selama ini dijunjung oleh AS sejak era pasca-Perang Dunia II.
“Kompleksitas dalam merancang sistem tarif timbal balik bagi seluruh negara dan mencakup semua produk akan sangat besar,” kata Tim Brightbill, pengacara perdagangan di Wiley Rein LLP.
Trump mengumumkan kebijakan ini hanya beberapa jam sebelum pertemuannya dengan Perdana Menteri India Narendra Modi, yang negaranya berpotensi menjadi salah satu yang paling terdampak. India selama ini dikenal memiliki bea masuk tinggi pada berbagai produk AS, termasuk elektronik dan pertanian.
Selain India, Uni Eropa juga menjadi target kebijakan ini. Trump berulang kali mengecam PPN 15% yang diterapkan Uni Eropa, yang menurutnya menekan daya saing produk AS di pasar Eropa. Jepang dan Korea Selatan, yang juga memiliki sistem pajak konsumsi, turut masuk dalam radar kebijakan perdagangan Trump.
Jika diterapkan secara luas, kebijakan tarif timbal balik ini akan menjadi salah satu perubahan terbesar dalam pendekatan perdagangan AS. Selama beberapa dekade, AS telah menjadikan akses pasar domestiknya sebagai alat diplomasi ekonomi dan menekankan prinsip most-favored nation (MFN), di mana semua negara mendapatkan perlakuan tarif yang setara kecuali dalam perjanjian dagang bilateral.
Trump sendiri berulang kali menyalahkan defisit perdagangan AS pada praktik perdagangan yang tidak adil serta kesepakatan yang buruk di masa lalu. Ia secara khusus menargetkan Uni Eropa, yang dituduhnya mendiskriminasi produk-produk AS, terutama dalam sektor otomotif dan pertanian.
Namun, keputusan Trump untuk tidak langsung menerapkan kebijakan ini menunjukkan bahwa langkah tersebut masih dapat dinegosiasikan. Dunia usaha dan konsumen kini menanti bagaimana kebijakan ini akan memengaruhi perekonomian global serta hubungan perdagangan AS dengan negara-negara mitra.***