Koperasi dan lembaga keuangan mikro semestinya menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan. Namun, dalam praktiknya di lapangan, banyak yang justru berubah arah menjadi jebakan finansial bagi masyarakat kecil. Fenomena ini disoroti oleh ekonom Universitas Islam Riau, Mufti Hasan Alfani.
“Koperasi itu harusnya menjadi sarana pemberdayaan, bukan ladang mencari untung bagi segelintir orang bermodal besar,” kata Mufti, Kamis, 17 Juli 2025.
Mufti menilai, maraknya pendirian koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) belakangan ini tidak mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Menurutnya, banyak di antaranya hanya bertujuan mengejar keuntungan semata, tanpa memperhatikan aspek kesejahteraan masyarakat.
Menurut Mufti, banyak koperasi saat ini telah meninggalkan nilai-nilai dasar seperti gotong royong, solidaritas, dan pemberdayaan. Bahkan, tidak sedikit yang justru menerapkan bunga tinggi dan metode penagihan yang menekan, mirip dengan praktik rentenir.
“Banyak koperasi yang hanya jadi kedok, padahal praktiknya justru menyengsarakan rakyat,” ujarnya.
Ia mengungkapkan salah satu kasus di mana sebuah BPR memiliki ribuan jaminan BPKB, namun ketika proses penyitaan dilakukan, kendaraan-kendaraan tersebut telah lebih dulu disembunyikan. Hal ini menggambarkan betapa masyarakat terdesak hingga melakukan tindakan di luar hukum akibat tekanan ekonomi.
Mufti juga memperingatkan soal koperasi abal-abal yang beroperasi tanpa izin resmi. Mereka kerap memakai embel-embel “koperasi syariah” untuk menarik kepercayaan masyarakat, padahal sistem bunga yang diterapkan sangat mencekik.
“Yang legal masih ada dewan pengawas. Tapi yang bermasalah adalah koperasi palsu. Mereka sebenarnya rentenir yang menyamar,” tegasnya.
Inisiatif pemerintah seperti program Koperasi Merah Putih dinilai sebagai langkah positif, namun Mufti menegaskan bahwa keberhasilan program ini sangat bergantung pada pengawasan yang ketat dan manajemen yang berpihak kepada rakyat.
Saat ini, banyak masyarakat memilih koperasi bukan karena kepercayaan, melainkan karena terdesak dan tidak lagi bisa mengakses layanan bank akibat riwayat kredit buruk.
Ia mencontohkan masa lalu ketika bank syariah memiliki relationship officer yang aktif mendampingi dan memantau nasabah, terbukti mampu menjaga kesehatan finansial baik bagi nasabah maupun bank.
Program pemerintah seperti pemutihan kredit macet melalui KUR dinilai sebagai langkah tepat. Namun, menurut Mufti, efektivitasnya tergantung pada dua hal: kesadaran masyarakat untuk tidak mengulangi kesalahan, dan penguatan sistem pengawasan terhadap debitur.
Mufti menegaskan bahwa solusi jangka panjang dari persoalan ini adalah pengawasan menyeluruh, pemberantasan koperasi ilegal, serta edukasi berkelanjutan kepada masyarakat. “Koperasi harus kembali ke khitahnya: menjadi alat pemerdekaan ekonomi rakyat kecil, bukan alat penindasan baru,” tutupnya.***