Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan pentingnya riset inovasi pangan, diversifikasi komoditas lokal, serta pemanfaatan teknologi pertanian presisi untuk menghadapi tantangan ketahanan pangan global. Strategi ini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri sekaligus memperkuat daya saing Indonesia di pasar internasional.
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN, Puji Lestari, menyampaikan hal itu dalam forum diskusi ROAFERIAN #12 bertajuk “Sinergi Superfood, Pangan Alternatif, dan Pertanian Presisi untuk Ketahanan Pangan Berkelanjutan” yang berlangsung di KKB Kusnoto, Bogor, pada 14 Agustus 2025.
Puji menegaskan, Indonesia menghadapi tekanan besar akibat perubahan iklim, pertumbuhan populasi, hingga ancaman krisis pangan global. Pemerintah juga menargetkan pemenuhan pangan untuk 82,9 juta masyarakat, khususnya anak-anak, melalui program Makan Bergizi Gratis.
Menurutnya, diversifikasi pangan lokal menjadi solusi penting. Potensi komoditas seperti umbi-umbian, serealia, kacang-kacangan, buah tropis, serangga, dan ikan dapat dimanfaatkan sebagai pangan alternatif sekaligus sumber gizi. Sinergi antara pangan alternatif, superfood, dan pertanian presisi disebut menjadi kunci menghadapi tantangan pangan ke depan.
Puji menambahkan, penguatan riset juga perlu mencakup teknologi metabolomik, kemasan modern, serta sistem keamanan pangan agar produk Indonesia memenuhi standar global. “Riset tidak hanya fokus pada produktivitas, tetapi juga pada pengelolaan sumber daya genetik, pengolahan berkelanjutan, serta pemenuhan protein dari tumbuhan, hewan, dan laut,” ujarnya.
Kepala Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan BRIN, Satriyo Krido Wahono, menyoroti data global bahwa pada 2022 lebih dari 700 juta orang mengalami kelaparan dan 2,4 miliar orang tidak memiliki akses pangan bergizi. Di Indonesia, tantangan ganda muncul dari keterbatasan pangan dan meningkatnya penyakit degeneratif akibat pola konsumsi tidak sehat.
Satriyo menilai, biodiversitas pangan Indonesia sangat kaya dengan 77 spesies sumber karbohidrat, 75 spesies protein hewani, dan 26 jenis kacang-kacangan. Komoditas lokal seperti tempe, kakao, manggis, alpukat, jahe, dan kunyit memiliki potensi besar sebagai superfood Indonesia untuk menembus pasar global.
Ia juga mengungkapkan bahwa BRIN tengah menyiapkan rencana riset pangan 2025–2028, mencakup pengembangan beras analog berbasis singkong, meat analog dari protein nabati dan serangga, tempe non-kedelai dari kacang lokal, serta pemanfaatan mikroalga, spirulina, dan rumput laut. Teknologi modern seperti sistem keamanan pangan dan pengelolaan limbah menjadi bagian integral dari riset tersebut.
Dari sisi pertanian, Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN, Yudhistira Nugraha, menekankan pentingnya pertanian presisi dengan pemanfaatan IoT, drone, sensor, robotik, hingga kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini mampu meningkatkan akurasi data, memprediksi panen, dan mengoptimalkan produktivitas. BRIN bahkan telah menguji platform deep learning dengan akurasi 61% untuk prediksi panen padi.
Forum internasional ini juga menghadirkan pakar dari Osaka University Jepang dan UCSI University Malaysia yang menyoroti metabolomik serta pemanfaatan deep learning dalam pertanian. Kolaborasi riset lintas negara ditegaskan sebagai syarat mutlak untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia sekaligus memberi kontribusi nyata pada ketahanan pangan global.***
Reporter: Melba Ferry | Sumber: BRIN