EKONOMIPOS.COM (EPC),JAKARTA — Penurunan ekspor ikan budi daya terus berlanjut seiring dengan kebijakan pembatasan kapal angkut asing menjelajahi wilayah perikanan budi daya sejak awal tahun ini.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, pengapalan ikan hidup hasil budi daya selama Januari—April mencapai 2.757 ton merosot 32% di bandingkan dengan realisasi periode sama tahun lalu. Penurunan volume itu otomatis memangkas nilai ekspor 9,3% (y-oy) menjadi US$12,6 juta.
Selama kuartal pertama tersebut, ekspor ke China anjlok 19,9% menjadi 2.003,1 ton, Malaysia 81,2% menjadi 204,7 ton, Singapura 24,5% menjadi 80,8 ton, dan Thailand 76,4% menjadi 4 ton.
Penurunan itu melanjutkan performa selama kuartal I/2016 yang nilai ekspornya merosot 12,7% (y-o-y) menjadi US$9,3 juta. Sekjen Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia Wayan Sudja mengungkapkan, sejak bobot kapal pengangkut ikan hidup dibatasi maksimal 300 gross tonnage (GT) melalui Peraturan Menteri Ke lautan dan Perikanan No. 15/Permen KP/2016, praktis hanya ada lima unit kapal asing yang bisa masuk ke Indonesia.
Kapal itu umumnya kapal kayu tua yang tidak efisien, karena biaya angkutnya lebih ma hal dan kapasitasnya kecil. Ketidak efisienan itu pada gilirannya membuat eksportir membeli ikan budi daya dengan harga lebih murah.
“Dulu sebelum dibatasi, ada 13 kapal yang masuk, termasuk kapal besi yang besar di atas 300 GT. Mereka lebih efisien, karena kapalnya diasuransikan, biaya angkutnya lebih murah, sehingga bisa beli lebih tinggi. Selisihnya bisa US$2 per kg untuk ikan kerapu,” ungkapnya, Rabu (20/7/2016).
Ditambah dengan pembatasan pelabuhan muat singgah kapal asing hanya dapat memuat di satu titik dari lima pelabuhan muat singgah, meliputi Natuna, Belawan, Lampung, Belitung, dan Bali. Padahal, sebelumnya kapal asing bisa berseliweran di 32 pelabuhan muat singgah di Tanah Air.
Pada saat yang sama, kapal pengumpan (feeder) yang dapat mengangkut ikan hidup dari lokasi pembudidayaan, seperti Pangkalan Susu, Sibolga, Painan, Mentawai, Lombok, Selayar, Wakatobi, Luwuk Banggai, Seram, Tual, hingga Papua, ke pelabuhan muat singgah, langka. Mereka pun dibatasi hanya boleh masuk ke wilayah pengelolaan perikanan Indonesia enam kali setahun.
Di sisi lain, kapal berbendera Indonesia belum mampu mengisi peran yang ditinggalkan kapal asing, termasuk feeder yang mengangkut ikan budi daya hidup dari sentra budidaya ke pelabuhan muat singgah.
Wayan mengestimasi, kapasitas angkut kerapu tahun ini bisa menyusut menjadi 2.000 ton dari 4.500 ton per tahun dalam kondisi normal akibat pembatasan frekuensi, jumlah kapal, dan titik muat.
Asosiasi mencatat, sejak Maret 600 ton ikan kerapu gagal diekspor karena pembatalan perjalanan 12 kapal pengangkut dengan kapasitas angkut masing-masing 25 ton. Wayan memberi contoh PT Arafura Marine Culture di Dobo, Maluku, yang tak bisa menjual 375 ton stok ikan, karena tak ada kapal yang melayani. Bahkan, 50 ton di antaranya
dikubur, karena dijual di lokasi sekalipun, masyarakat setempat tak mampu membeli.
“Sudah ada beberapa pembudi daya yang cash flow-nya terganggu. Biasanya mereka kasih pakan dua kali sehari, sekarang hanya dua kali seminggu.”
MASIH DIKAJI
Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto mengatakan, penurunan ekspor ikan budi daya terjadi, karena selama Januari—Maret tidak ada ekspor ikan hidup budi daya, kecuali melalui udara.
“Selama April pun, kapal masih mengurus SIKPI (surat izin kapal pengangkut ikan). Ekspor baru berjalan Mei. Tentu logis kalau dibandingkan dengan tahun lalu ada penurunan,” jelasnya.
Pemerintah pada Maret menghentikan penerbitan SIKPI bagi kapal berbendera asing (SIKPI A) baik untuk permohonan baru maupun perpanjangan melalui Surat Edaran (SE) Dirjen Perikanan Budidaya No. 721/DPB/PB.510.S4/ II/2016.
Moratorium itu berakhir bersamaan dengan terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 15/Permen-KP/2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup. Namun, beleid yang diundangkan pada 7 April itu membatasi kapal asing hanya boleh menerima ikan budi daya dari kapal berbendera Indonesia di satu pelabuhan muat singgah.
KKP, tutur Slamet, saat ini sedang mengkaji perubahan ketentuan dalam Permen 15 untuk mempercepat penjualan stok yang menumpuk.
Kementerian itu mencatat 800 ton ikan belum terangkut di berbagai lokasi pembudidayaan sejak beleid itu diterbitkan. Secara keseluruhan, ekspor kelompok perikanan budi daya selama Januari—April turun 14,4% dari periode sama tahun lalu menjadi 57.244,2 ton. Dari sisi nilai, ekspor tercatat jatuh 31,9% menjadi US$50,8 juta.
(BISNIS)