PT SPR Trada Digugat Secara Perdata ke PN Pekanbaru soal Dana Hibah Tegakan Akasia

by
Hutan (Foto: Ilustrasi)

EKONOMIPOS.COM – PT Sarana Pembangunan Riau Trada (SPR Trada)—anak PT SPR, yang merupakan BUMD Provinsi Riau— digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Pekanbaru.

PT SPR Trada dituduh tidak tunduk pada Akta Perjanjian Nomor 29 tanggal 27-05-2024 yang dibuat dihadapan Notaris Ira Asiska, SH SKn soal pembagian dana hibah atas tegakan akasia di lahan milik LPHD Rantau Kasih, di Kabupaten Kampar.

Adapun gugatan tersebut dilayangkan oleh Jonni Fitter Suplus. Dari informasi yang diterima media, sidang perdana sudah digelar pada 2 Januari 2025 di Pengadilan Negeri Kelas 1 A Pekanbaru, Jalan Teratai.

Saat dikonfirmasi ke Direktur Utama PT SPR Trada, Bemi Hendrias, menjelaskan akar masalahnya. Menurutnya, gugatan ini bermula dari rencana pengelolaan lahan seluas 5.000 hektar di Desa Rantau Kasih, Kabupaten Kampar.

Pada tahun 2021, Direktur Utama PT SPR Trada, Syafri Daliandri, bekerja sama dengan Koperasi Unit Desa (KUD) Pancuran Gading untuk mengurus pengelolaan lahan tersebut. Kebetulah, Ketua KUD saat itu dijabat oleh Jonni Pitter Suplus.

“Hingga kini rencana untuk mengelola lahan tersebut memang tidak terealisasi,” katanya, Kamis, 16 Januari 2025 di Pekanbaru.

Bemi menjelaskan, dalam perjalannya, Lembaga Perhutanan Desa (LPHD) Rantau Kasih mengajukan lahan tersebut agar menjadi Perhutanan Sosial (PS). Oleh KLHK permohonan itu dikabulkan, dan lahan itu berstatus PS.

Pihak KUD dan PT SPR Trada kala itu mendesak LPHD Rantau Kasih karena merasa mereka lebih dulu mengajukan pengurusan pengelolaan lahan.

Setelah duduk bersama, pihak LPHD sepakat menghibahkan sebagian hasil dari penjualan tegakan akasia di atas lahan itu kepada PT SPR Trada dan masyarakat adat.

Namun, kata Bemi, masalah ini menjadi rumit ketika penggugat, mengubah jabatannya sebagai Ketua KUD menjadi perwakilan masyarakat adat dengan tulisan tangan. Hal itu tertuang dalam dokumen akta notaris perjanjian. Coretan tangan itu terlihat dalam minuta notaris bertanggal 27 Mei 2024, yang ditandatangani oleh Jonni sendiri.

Pihak SPR Trada, kemudian mengonfirmasi ke pihak notaris hal itu. Pihak notaris menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah menyertakan dokumen resmi yang membuktikan dirinya sebagai perwakilan masyarakat adat.

Berubahnya status penggugat dari Ketua KUD menjadi perwakilan masyarakat adat ditentang oleh Sri Paduka Raja-XII Istana Darussalam Kerajaan Rantau Kampar Kiri Gunung Sahilan, Tengku M. Nizar. Sebagai masyarakat adat yang diakui, mereka merasa lebih berhak atas dana hibah tersebut. Nizar kemudian mencabut mandat Jonni Piter sebagai perwakilan masyarakat adat dan digantikan oleh Raylus.

“Menurut Kerajaan Kampar Kiri Gunung Sahilan mereka tidak pernah mengangkat penggugat sebagai perwakilan dari masyarakat adat,” jelas Bemi.

Dalam situasi ini, uang hibah hasil penjualan tegakan akasia yang dititipkan LPHD kepada SPR Trada menjadi tidak jelas peruntukannya. Sebab, kata Bemi, tidak ada dasar hukum yang mempertegas bahwa uang tersebut dihibahkan ke pihak mana.

“Hanya perlu butuh kepastian hukum. Kemana uang ini harus diserahkan, kita tunggu saja keputusan pengadilan. Kami juga tak ingin uang itu salah sasaran,” jelasnya.

Menurut Bemi, sebelum perusahaannya digugat secara perdata ke PN Pekanbaru, upaya mediasi antara pihak penggugat dengan pihak Kerajaan Kampar Kiri Gunung Sahilan. Namun, salah satu dari mereka selalu tidak hadir.

Adapun upaya media pertama yang difasilitasi oleh PT SPR Trada dilaksanakan pada 4 November 2024 lalu. Karena pihak yang hadir tidak lengkap, dilakukan upaya media kedua pada 13 November 2024.

“Kondisinya sama, perwakilan salah satu dari mereka tidak ada yang hadir,” jelasnya.

“Dalam kondisi seperti ini kami harus menjaga diri dan berhati-hati agar tidak menyerahkan hak kepada pihak yang salah, itu saja,” ungkapnya.***