EKONOMIPOS.COM (EPC), JAKARTA – Di tengah upaya pemerintah meningkatkan daya saing logistik, posisi ranking Logistics Performance Index (LPI) Indonesia turun 10 poin menjadi 63 tahun ini dari posisi 53 pada 2014.
Dari data LPI yang dikeluarkan World Bank, Indonesia hanya mendapatkan skor sebesar 2,98 dengan presentase 61,5%. Posisi Indonesia disalip India yang naik dari posisi 54 menjadi 35 pada tahun ini.
Di lingkup Asean, Singapura menduduki posisi 5, Malaysia 32, Thailand 45, Vietnam 64, Brunei Darussalam 70 dan Filipina 71.
Adapun dalam perhitungan LPI, World Bank memperhatikan lima komponen a.l. bea dan cukai, infrastruktur, pengiriman barang internasional, kualitas dan kompetensi logistik, pencarian barang (tracking/tracing), dan ketepatan waktu (timeliness).
Jika dibandingkan dengan LPI 2014, skor penilaian bea cukai kita mengalami penurunan dari 2,87 menjadi 2,69. Padahal pemerintah Indonesia diketahui tengah gencar mendorong implementasi Indonesia National Single Window dan Single Risk Management System.
Sementara itu, dari aspek penilaian infrastruktur, Indonesia juga mengalami penurunan skor dari 2,92 menjadi 2,65.
Di antara penurunan skor tersebut, skor pengiriman barang internasional dan ketepatan waktu mengalami kenaikan menjadi masing-masing 2,90 dan 3,46 dari 2,87 dan 3,11 pada dua tahun lalu.
Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) Yukki N. Hanafi mengungkapkan apa yang dikhawatirkan terjadi, yakni ranking Indonesia turun.
“Ini harusnya menjadi koreksi kita bersama.ALFI sudah mengusulkan hati-hati dan usulannya sudah masuk kepada pemerintah,” ungkapnya.
Melihat penurunan ini, Yukki meminta pemerintah dan semua pihak membuka diri untuk penilaian logistik performa di dalam negeri karena ALFI khawatir penilaian dalam negeri juga serupa.
Terkait pengaruh penilaian LPI dengan investasi Indonesia, dia mengaku hal tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi karena salah satu indikatornya adalah biaya logistik yang tinggi.
“Ini realitanya. Tentu ini akan dilihat oleh calon investor di Indonesia. Makanya ALFI sering menyampaikan ayo terbuka dan sama-sama menyamakan persepsi,” tegasnya.
Pelaku bisnis di bidang logistik, lanjutnya, tidak ingin disalahkan dalam hal ini. Selama ini, pelaku logistik telah berkompetisi secara langsung ketika pemerintah mengeluarkan kelonggaran dalam Daftar Negatif Investasi (DNI).
Padahal di sisi lain, bisnis logistik harus melakukan efisiensi di tengah kondisi ekonomi yang tidak mendukung seperti sekarang.
Yukki menekankan pandangan World Bank dan ALFI tidak jauh berbeda. Contohnya, ketika World Bank mempertanyakan dampak penurunan dwelling time dengan biaya logistik dan harga barang produksi di Indonesia.
Menurutnya, ALFI juga mempertanyakan hal tersebut karena keduanya melihat dari ‘bahasa logistik’.
Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) mengaku prihatin dengan hasil penilaian Indonesia, sementara India, Kenya, Arab justru mengalami kenaikan.
“Berarti reformasi logistik mereka berhasil, sementara kita mundur,” tegasKyatmaja Lookman, Wakil Ketua Aptrindo bidang Distribusi dan Logistik, kepada Bisnis, Rabu (29/6).
Dia menilai Indonesia selama ini lupa, bahwa saingan atau kompetisi sebenarnya bukan berada di dalam negeri. Saingan Indonesia adalah negara lain. Senada dengan Yukki, dia mengkhawatirkan investor akan melihat hal ini dan jika posisi Indonesia tidak kompetitif, maka mereka akan pindah ke negara lain.
“Analogi logistik itu darah dalam ekonomi. Logistik itu pelumas dalam mesin ekonomi. Ketika pelumas jelek, maka mesin tidak akan optimal, demikian juga darahnya,” ujarnya. (Bisnis)