Kementerian Perindustrian masih mengkaji untuk memberikan insentif kepada pabrik baja khusus (super low carbon nickel titanium special steel) milik PT Resteel Industry Indonesia di Batam.
Pasalnya, selain membangun pabrik baja, perusahaan patungan PT Shanxi Haixin and Steel Group dan PT Trinusa Group, juga membangun smelter sejenis di Tojo Una Una, Provinsi Sulawesi Tengah.
MS Hidayat, Menteri Perindustrian, mengatakan pemerintah pasti akan memberikan insentif kepada Resteel dan saat ini kajian tersebut masih dalam proses.
“Pasti akan kami berikan insentif. Resteel memang sudah mengajukan insentif berupa tax holiday. Selain itu, Resteel juga meminta untuk menghapus bea masuk untuk sejumlah mesin-mesinnya yang mereka impor dari Tiongkok. Sebab, mesin yang dipesan Resteel memang belum bisa dirakit di Indonesia,” katanya, saat peletakan batu pertama di Batam, Jumat (30/5/2014).
Hingga kini pemerintah masih memilih insentif yang cocok untuk diberikan kepada Resteel.
Hidayat menuturkan, Resteel dianggap memenuhi kebutuhan baja di Indonesia. Pembangunan pabrik baja Resteel tersebut akan menjadi bagian dari subtitusi impor yang selama ini dilakukan Indonesia. Selama ini total kebutuhan baja Indonesia lebih dari 11 juta ton per tahun, sedangkan produksi dalam negeri hanya bisa memasok lebih kurang 6 juta ton per tahun dan sisanya dipenuhi melalui impor. “Nah ini bagian dari memperkecil kesenjangan dari ekspor dan impor itu.”
Namun yang terpenting, kata Menperin, pabrik tersebut memperkenalkan proses dan teknologi baru untuk pembuatan industri baja ini. Pada prinsipnya Resteel menggunakan iron ore itu langsung bypass hingga ke end product, tidak melalui proses tradisional seperti pabrik baja yang lain. “Jadi dia langsung menjadi industri akhir yaitu baja khusus, yang ditujukan untuk kepentingan industri alutsista dan industri perkapalan.”
Menurut Hidayat, kalau Indonesia belum banyak menyerap produk Resteel, maka perusahaan patungan tersebut akan mengambil sendiri untuk kebutuhan di Tiongkok. “Sebenarnya, jika domestik menginginkan, ini bisa diserap semuanya untuk domestik. Tapi, karena ini heavy industry, karena kita belum bisa menyerap semua produknya, Resteel bersedia menyerap sisanya.”
Hidayat juga mengatakan, industri perkapalan dan alutsista di Indonesia sedang booming, tetapi hampir semua bajanya diimpor. Dengan adanya Resteel di Indonesia maka hal ini bisa digunakan sebagai subtitusi.
Sementara itu, Achmad Feby Fadhillah, Komisaris Resteel, mengakui telah mengajukan insentif kepada pemerintah melalui Menteri Perindustrian. “Kami minta bebas pajak hingga 50 tahun. Selain itu, seluruh mesin yang kami datangkan dari Tiongkok harus dibebaskan bea masuknya.”
Groundbreaking
Pada Jumat (30/5), Menteri Perindustrian MS Hidayat ikut meresmikan peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunan pabrik baja khusus (super low carbon nickel titanium special steel) milik PT Resteel Industry Indonesia di Batam.
“Industri baja khusus yang akan dibangun oleh Resteel dengan total nilai 500 juta dolar AS, merupakan sebuah potensi yang besar dalam peningkatan kapasitas industri baja,” kata MS Hidayat dalam sambutannya.
Menurut Menperin, pembangunan smelter ini merupakan terobosan baru, dimana bahan baku nikel ore, iron sand dan bauksit akan diolah menjadi super low carbon nickel titanium dan spesial steel untuk kebutuhan alutsista dan perkapalan. “Kapasitas yang dihasilkan memang kecil, namu memiliki nilai tambah yang tinggi dan produk yang dihasilkan pun spesial.”
Melalui pembangunan pabrik baja ini, MS Hidayat berharap Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan Pemerintah Sulawesi Tengah dapat memfasilitasi dan turut mengawal agar investasi ini dapat terlaksana dengan baik, sehingga pada akhirnya memberikan menfaat seluas-luasnya bagi Indonesia.
“Kemenperin dan Kementerian ESDM mendukung investasi dan mendukung investasi ini dan menyampaikan ucapan selamat kepada Resteel Industry Indonesia, semoga apa yang sedang diupayakan dapat tercapai dan sukses,” ujarnya.
Seperti diketahui, perusahaan baja asal Tiongkok, PT Shanxi Haixin and Steel Group, siap menggelontorkan dana sebesar 500 juta dolar AS untuk membangun dua pabrik besi baja di Indonesia. Untuk memuluskan rencananya tersebut, Shanxi dipastikan mengandeng perusahaan lokal yaitu PT Trinusa Group.
Dengan status Penanaman Modal Asing (PMA), dua perusahaan tersebut sudah membentuk satu perusahaan joint venture dengan nama PT Resteel Industry Indonesia.
Achmad Fadhillah mengatakan, pembangunan dua pabrik besi baja tersebut nantinya akan terfokus di dua wilayah yaitu Batam dan Tojo Una Una (Sulawesi Tengah). “Kami akan mulai commisioning enam bulan kemudian sejak groundbreaking, atau sebelum akhir tahun sudah bisa menghasilkan produk,” katanya.
Achmad menuturkan, kedua pabrik tersebut ditargetkan bisa menghasilkan produk super low carbon nickel titanium special steel dengan kapasitas 100 ribu metrik ton per tahunnya untuk satu line produksi. Saat ini produk dari super low carbon ini banyak digunakan untuk industri militer di Tiongkok, seperti kapal dan tank.
Namun itu untuk tahap awal, perusahaan patungan tersebut berencana menambah line produksinya sebanyak 10 line, apabila proyek kedua pabrik tersebut tengah rampung pada 2015.
“Satu line produksi kita investasikan sebesar 50 juta dolar AS, jadi kalau 10 line sekitar 500 juta dolar AS. Ke depan, pemerintah juga seharusnya memberikan insentif kepada kami dengan melihat nilai investasi sebesar itu,” katanya.
Menurut Achmad, yang membedakan produk baja yang dihasilkan Resteel dengan pabrik baja lain yaitu sistem produksinya menghilangkan dua proses pengolahan.
“Jadi dari iron ore (batu besi,red) bisa langsung menjadi baja. Inilah mengapa dikatakan baja tersebut disebut special steel. Hasil dari teknologi yang memerlukan energi gas ini memiliki kualitas lebih bagus dan tidak memerlukan power plant baru, hemat energi serta ramah lingkungan,” katanya.
Keuntungan lain dari proyek pembangunan pabrik besi baja ini, menurut Fadillah, akan dapat berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat serta pendapatan daerah. Mengingat kedua pabrik diperkirakan akan menyerap tenaga kerja sekitar 2.000 orang.
Atas alasan tersebut, Achmad berharap industri pertambangan di Indonesia yang semakin berkembang pesat ini dibarengi dengan sistem regulasi yang tidak tumpang tindih. “Sebaiknya regulasi yang dikeluarkan pemerintah memperhatikan kepentingan semua pihak, khususnya para pekerja tambang,” ucapnya.(*)