JAKARTA, EKONOMIPOS.COM – Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) meminta agar anggaran insentif perpajakan dimaksimalkan oleh pemerintah. Hal tersebut sebagai estimasi dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian di Indonesia.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI Mardani H Maming mengatakan, dalam kondisi pandemi Covid-19, semua usaha terdampak. Sehingga, kondisi ini harus ditanggung oleh pemerintah di semua sektor. Agar ekonomi pulih semua sektor harus dibantu, sehingga tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih besar lagi. Bukan hanya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan pengusaha besar, tapi ini semua pengusaha sedang mengalami dampak pandemi Covid-19.
“Tidak hanya UMKM, usaha-usaha besar juga perlu diperhatikan mengingat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi dunia bisnis. Oleh karena itu, subsidi modal serta penundaan pembayaran kredit usaha sangat membantu ekonomi untuk dapat pulih,” ujar Maming, dalam acara Kajian Ekonomi HIPMI Sesi #3 secara virtual melalui zoom, di Jakarta, Kamis (28 Mei 2020).
Acara yang bertemakan “Insentif Pajak: Pendorong Daya Ungkit Ekonomi di Masa Pandemi” yang mendapat antusiasme positif dari 439 peserta Webinar ini, menurut Maming, bisnis bisa berjalan lagi tentunya dengan standar protokol kesehatan yang harus tetap dipatuhi. Untuk mendukung jalannya ekonomi new normal, perlu adanya dukungan pemerintah melalui insentif pajak.
“Penerapan new normal yang dicanangkan oleh pemerintah, kami sepakat untuk mendukung adanya upaya berdamai dengan pandemi Covid-19 ini agar perekonomian dapat kembali pulih dan jumlah karyawan yang di PHK tidak lagi bertambah. Oleh karena itu, kami meminta agar anggaran insentif perpajakan dimaksimalkan oleh pemerintah,” ucapnya.
Mantan Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan itu menilai, pemerintah harus tepat sasaran dalam memberikan insentif pajak. Jika tidak, berapapun besarnya insentif tidak akan berdampak signifikan dalam memulihkan ekonomi.
“Kita konsen terhadap insentif perpajakan untuk para pengusaha di sektor-sektor yang terdampak pada masa pandemi Covid-19 ini. Dampak terhadap sektor ekonomi tentu tidak dapat dielakkan lagi. Pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan akan terkontraksi makin dalam,” ungkapnya.
Menurutnya, fokus kebijakan pemerintah perlu menyasar kepada sektor riil. Pemerintah harus memastikan stimulus yang diinjeksi menciptakan efek berganda kepada roda ekonomi nasional. Seperti program kartu prakerja seharusnya dialihkan ke hal yang lebih riil.
“Selain insentif pajak, kita minta program kartu prakerja ditunda dengan dialihkan anggarannya ke bantuan langsung tunai (BLT) kepada korban PHK karena dampak pandemi Covid-19. Tidak elok dalam kondisi sulit seperti ini melakukan pelatihan online. Karyawan yang di rumahkan atau di PHK bukan karena perusahaannya kacau, tapi karena dampak pandemi Covid-19 seperti di sektor pariwisata dan sektor UMKM yang paling parah terkena dampak,” tuturnya.
Dengan demikian, Maming menambahkan, peran pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan insentif pajak kepada para pengusaha agar bisa merekrut karyawan yang di rumahkan atau di PHK lagi, sehingga tidak ada pengangguran. HIPMI juga meminta kepada pemerintah untuk mengurangi kebijakan yang tidak berkaitan dalam pemulihan ekonomi. Sehingga, koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter juga diperkuat agar tidak muncul kebijakan yang tidak diperlukan.
“HIPMI akan terus berupaya menyuarakan yang terbaik untuk kebangkitan sektor-sektor usaha di masa new normal kali ini. Semoga diskusi ini dapat menghasilkan saran-saran yang positif guna mendukung perekonomian Indonesia selanjutnya,” imbuhnya.
Di waktu yang sama, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI Ajib Hamdani menyebut, jika semua usaha terdampak secara total sekitar empat bulan, idealnya pemerintah menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun hingga Rp 70 triliun. Karena penerimaan pajak PPh 21 dan 22 impor pada 2019 totalnya sekitar Rp 200 triliun.
“Pemberian insentif pajak langkah positif pemerintah untuk mendorong perekonomian. Insentif kebijakan nonfiskal akan berdampak positif untuk menormalisasi membantu ekspor-impor yang sedang melandai di dalam negeri,” ujar Ajib.
Secara umum, Ajib mengatakan, kebijakan ini sangat tepat kepada dunia usaha untuk memberikan ruang arus kas dan membantu likuiditas perusahaan. Dia menyarankan, pemerintah seharusnya melonggarkan perpajakan untuk seluruh sektor usaha dan tidak hanya terbatas sektor manufaktur.
‘Semua sektor usaha juga terdampak. Jika hanya sektor manufaktur yang diberikan insentif PPh 21, 22 dan 25, pertimbangannya sulit diterima,” ucapnya.
Selain itu, pelonggaran PPh 21 belum tentu memberikan dampak langsung terhadap penghasilan karyawan. Ajib berharap, pemerintah mesti menghitung potensi pengurangan pendapatan pajak secara presisi.
“Jangan sampai di akhir tahun menjadi beban tambahan untuk menambah utang pemerintah,” ungkapnya.(*)