EKONOMIPOS.COM (EPC), PEKANBARU – Pemko Pekanbaru terpaksa menempuh jalur pengadilan atau sistem konsinyasi menyusul tidak ditemukannya titik temu dalam pembahasan lahan untuk pelebaran Jalan Subrantas menuju ke perbasatan Pekanbaru-Kampar.
Dari total 15 persil lahan yang dibebaskan, hingga saat ini masih tersisa tujuh persil lagi yang belum ada titik temu antara pemilik lahan dengan Pemko Pekanbaru.
“Iya, ada tujuh persil lahan yang belum setuju. Makanya kita gunakan jalur pengadilan atau konsinyasi,” kata Plt Kepala Dinas Pertanahan Kota Pekanbaru, Azmi, Kamis (23/11/2017).
Pembebasan ganti rugi lahan ini adalah untuk proyek pembangunan pelebaran jalan Subrantas mulai dari simpang Garuda Sakti hingga perbatasan Pekanbaru-Kampar. Panjang ruas jalan yang akan dibebaskan lebih kurang 1,6 kilometer. Jalan itu merupakan salah satu pintu masuk utama dari sejumlah kabupaten dan provinsi ke Kota Pekanbaru.
Azmi mengakui pemilik lahan selalu menolak saat ditawakan nilai ganti rugi lahan. Sehingga menjadi hambatan untuk pembebasan lahan. Akibatnya, upaya pelebaran jalan hingga kini belum juga dapat dimulai.
Sebelum memutuskan menggunakan jalur konsinyasi, Azmi mengatakan pihaknya terus melakukan dialog dan pembahasan dengan pemilik lahan. Informasi yang dirangkum, anggaran untuk pembebasan lahan cukup besar mencapai Rp 675.000 per meter.
“Namun masalahnya itu saja, padahal harga tanah yang kita sodorkan itu berasal dari tim apraisal yang independen,” ujarnya.
Azmi mengatakan upaya konsinyasi akan dilakukan pada pekan depan. Pemilik lahan dengan harapan pembangunan pelebaran jalan tidak terganggu.
Sistem konsinyasi atau menitipkan ganti rugi di pengadilan menjadi solusi dari diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Penitipan ganti rugi di pengadilan dilakukan bila ada pihak yang menolak besaran ganti rugi, pemilik tidak diketahui keberadaannnya, atau objek sedang menjadi objek perkara. (*)