EKSPOR biodiesel Indonesia ke Uni Eropa ditargetkan tumbuh 6,7% pada 2026 usai menang sengketa dagang DS618 di WTO. Pemerintah optimis ekspor stabil meski kebutuhan domestik meningkat.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono menegaskan bahwa target ekspor itu tetap tumbuh karena angka itu relatif stabil dalam empat tahun terakhir.
Adapun proyeksi itu setelah Indonesia memenangkan sengketa perdagangan DS618 melawan Uni Eropa terkait penerapan countervailing duties atau bea imbalan terhadap produk biodiesel asal Indonesia.
“Proyeksi ekspor, tentunya kita mengharapkan ekspor biodiesel kita tetap tumbuh dari 6,7%. Itu angka rata-rata dalam empat tahun terakhir. Kalau bisa ke depannya kita pertahankan segitu,” ujar Djatmiko di Kantor Kementerian Perdagangan, 28 Agustus 2025.
Meski optimis dengan kinerja ekspor, pemerintah tetap memperhatikan kebutuhan domestik. Djatmiko menekankan bahwa program energi transisi, termasuk implementasi B40 hingga B45, diperkirakan menyerap 15,6 juta kiloliter biodiesel di dalam negeri.
“Karena kita juga punya kebutuhan dalam negeri. Dengan program B40 sampai B45 itu diperkirakan akan mengonsumsi 15,6 juta kiloliter. Ini jumlah yang besar,” tambahnya.
Djatmiko menilai bahwa capaian ekspor 6,7% masih realistis dipertahankan, kecuali produksi biodiesel nasional meningkat signifikan. “Kalau produksi biodiesel bisa luar biasa, mungkin angkanya bisa bertahan. Tapi setidaknya angka 6,7% dalam lima tahun terakhir diharapkan tetap terjaga,” jelasnya.
Sebelumnya, Indonesia resmi memenangkan sengketa DS618 di Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body / DSB) World Trade Organization (WTO). Panel WTO menyatakan Uni Eropa bertindak inkonsisten dengan ketentuan WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (ASCM) pada sejumlah aspek kunci.
Sengketa tersebut bermula sejak 2018 ketika Uni Eropa melakukan penyelidikan anti-subsidi terhadap produk biodiesel dari Indonesia. Hasilnya, UE mengenakan bea masuk imbalan karena menilai produsen biodiesel Indonesia menikmati subsidi dari pemerintah, termasuk melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Namun, dalam putusannya WTO menolak klaim Uni Eropa dan mendukung Indonesia. Kemenangan ini dipandang memperkuat posisi Indonesia dalam menjaga keberlanjutan ekspor biodiesel di pasar global, khususnya Uni Eropa.
Dengan kepastian hukum dari WTO, pemerintah optimis ekspor biodiesel Indonesia akan tetap tumbuh positif, sekaligus menjaga keseimbangan dengan kebutuhan energi terbarukan di dalam negeri.***