Pemerintah Indonesia didorong untuk tidak sekadar mengikuti jejak negara lain, tetapi menemukan jalur transformasi ekonominya sendiri. Di tengah disrupsi global dan tekanan geopolitik, para pakar menekankan pentingnya reformasi struktural, penguatan institusi, dan kepemimpinan strategis agar Indonesia mampu naik kelas menjadi negara dengan ekonomi berbasis teknologi dan industri bernilai tambah tinggi.
Materi ini menjadi bahan diskusi hangat bertajuk: Navigating Economic Development in South East Asia and Indonesia: in the Era of Global Disruption, yang diselenggarakan oleh Paramadina Public Policy Institute (PPPI) bersama Paramadina Graduate School of Diplomacy dan Universitas Ibn Khaldun (UIKA) pada 17 Juli 2025.
Acara ini berlangsung di Auditorium Benny Subianto, Universitas Paramadina, Trinity Tower, Jakarta, dan dimoderatori oleh Dr. Muhammad Ikhsan, Peneliti Senior PPPI. Sejumlah pakar dari dalam maupun luar negeri dihadirkan, untuk membedah arah kebijakan ekonomi Indonesia dan Asia Tenggara di tengah perubahan tatanan dunia.
Head of Senior Advisor PPPI, Wijayanto Samirin, menggarisbawahi pentingnya memanfaatkan krisis global sebagai peluang untuk mendorong reformasi kebijakan yang lebih inklusif dan visioner. Ia menilai, Indonesia memiliki modal diplomasi dan pengalaman reformasi yang bisa dimaksimalkan untuk memperkuat posisi di panggung internasional.
Ia juga menyoroti kemajuan Vietnam yang berhasil mengakselerasi pertumbuhan ekonomi digital dan integrasi sosial-politik, serta peran media sosial dalam membentuk opini dan arah kebijakan publik. “Jangan melihat disrupsi global sebagai ancaman semata. Justru ini momentum untuk membangun narasi kebijakan baru,” tegas Wijayanto.
Managing Director PPPI, Ahmad Khoirul Umam, Ph.D., memberikan pandangan kritis terhadap kondisi ekonomi Indonesia yang dinilai masih stagnan dalam hal reformasi struktural. “Kita berlari, tapi tetap di tempat. Ini soal arah, bukan sekadar gerak,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya Indonesia mencari jalannya sendiri dalam transformasi ekonomi, seperti yang dilakukan negara-negara Asia Timur melalui developmental state—yakni kombinasi antara industrialisasi ekspor dan reformasi birokrasi yang konsisten.
Umam juga mengingatkan potensi risiko dari krisis global seperti konflik Rusia-Ukraina dan ketegangan di Timur Tengah, serta menyoroti pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belum cukup untuk menyerap tenaga kerja secara optimal.
Ia menilai, kelemahan institusional seperti politik transaksional dan stagnasi birokrasi menjadi penghambat utama. “Negara gagal bukan karena ideologi, tapi karena institusi yang lemah,” katanya mengutip pemikiran Francis Fukuyama.
Umam juga menyesalkan minimnya aksi nyata untuk memanfaatkan pasar domestik dalam menghadapi era kendaraan listrik dan ekonomi hijau. “Kita masih bicara potensi, belum aksi. Di China, motor listrik sudah jadi standar,” keluhnya.
Prof. Paul Schuler dari University of Arizona, yang telah dua dekade meneliti perkembangan ekonomi Vietnam, memaparkan bagaimana negara itu mengalami empat fase transisi sejak unifikasi hingga kebangkitan industri. Meski kini GDP Vietnam hampir menyamai Indonesia, ia mengingatkan bahwa banyak tantangan struktural masih membayangi.
“Vietnam sukses menarik investasi besar, tapi struktur industrinya tetap rapuh,” jelas Schuler.
Ketergantungan pada perusahaan multinasional seperti Samsung dan Intel, minimnya peran UMKM dalam rantai pasok global, serta alokasi modal yang terlalu besar ke sektor properti, menjadi beberapa titik lemah. Studi kasus VinFast, menurutnya, menjadi simbol ambisi sekaligus tantangan dalam membangun industri nasional yang berkelanjutan.
Sementara itu, Staf Khusus Menko Perekonomian RI, Raden Pardede, menegaskan bahwa pencapaian visi Indonesia Emas 2045 hanya mungkin jika negara mampu melakukan transformasi ekonomi secara menyeluruh. Ia menyerukan pergeseran dari ketergantungan pada ekspor komoditas mentah ke ekonomi berbasis manufaktur dan teknologi tinggi.
“Kita harus bangun sistem ekonomi yang tangguh, SDM yang unggul, dan kepemimpinan yang strategis,” ujarnya.
Raden juga menyoroti perlunya reformasi struktural, investasi di sektor teknologi seperti kecerdasan buatan dan energi hijau, serta efisiensi kalender kerja nasional yang dinilainya masih rendah akibat terlalu banyak hari libur.
Keanggotaan penuh Indonesia di OECD, menurutnya, harus menjadi pijakan dalam memperkuat tata kelola dan meningkatkan daya saing global. “Kita tidak boleh masuk ke perang murah tenaga kerja. Indonesia harus naik kelas,” tegas Raden.***