EKONOMIPOS.COM (EPC),JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun lalu diestimasi berakhir pada level 5 persen, atau lebih baik ketimbang pencapaian pada 2015 ketika perekonomian tumbuh 4,8 persen.
“Perekonomian 2016 diperkirakan tumbuh 5 persen, di bawah asumsi APBN-P (2016),” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam jumpa pers realisasi sementara APBN-Perubahan 2016 di Jakarta, kemarin. Dalam asumsi APBN-P 2016, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan 5,2 persen.
Menurut Sri, performa tersebut termasuk yang terbaik di antara negara-negara G-20 dan negara berkembang lainnya, yang sebagian besar masih terdampak oleh pelambatan perekonomian global. Adapun pertumbuhan 5 persen itu dengan asumsi pada triwulan IV-2016, ekonomi tumbuh minimal 4,7 persen yang didukung membaiknya konsumsi rumah tangga maupun sektor investasi.
“Konsumsi rumah tangga dan investasi masih menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, konsumsi pemerintah akan dipengaruhi belanja pemerintah pusat yang lebih rendah karena adanya penyesuaian anggaran,” ujarnya.
Dari catatan sementara, belanja negara mencapai 89,3 persen atau Rp1.859 triliun dari pagu Rp2.082 triliun. belanja pemerintah pusat tercapai 97,9 persen dari target. “Kita melihat belanja masih mampu menjaga dana melindungi prioritas pemerintah. Meski ada pemotongan, belanja prioritas masih terproteksi, yaitu untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan,” lanjut Sri.
Sementara itu, realisasi pendapatan negara mencapai 89,9 persen atau Rp1.551,8 triliun dari pagu, dan defisit mencapai 2,46 persen. Khusus untuk perpajakan, terdapat selisih realisasi dan target (shortfall) penerimaan perpajakan Rp255,6 triliun. Angka itu lebih besar daripada potensi shortfall yang pernah dihitung Sri Mulyani, yakni Rp219 triliun.
Berdasarkan catatan Kemenkeu, realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp1.283.5 triliun, sementara target dalam APBN-P 2016 ialah Rp1.539,2 triliun. “Keseluruhan total perpajakan masih tumbuh 3,5 persen dari 2015,” kata dia.
Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengamini level pertumbuhan 5 persen antara lain lantaran adanya pemotongan belanja pada pertengahan 2016.
“Ada kontraksi tinggi di kuartal III dan IV yang menyebabkan turunnya prediksi angka pertumbuhan ekonomi ke 5 persen.” Kalau saja manajemen fiskal lebih baik dan target penerimaan pajak tidak ambisius serta tidak ada pemotongan anggaran masif pada semester II, lanjut Faisal, pertumbuhan ekonomi ditaksirnya bisa 5,1 persen.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo memprediksi ruang pelonggaran kebijakan moneter pada 2017 menyempit. Hal itu tak lepas karena rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) oleh The Fed.
“Secara umum kita lihat bahwa di 2017 ini ruang untuk pelonggaran moneter itu sudah hampir tidak ada,” kata Agus di Gedung BEI, Jakarta, kemarin.
Pihaknya melihat ada kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga hingga tiga kali pada tahun ini. Karena itu, BI perlu mengantisipasi.
Pada 2016 BI melonggarkan suku bunga acuan lebih dari 1 persen sebelum akhirnya mengganti suku bunga acuan dari BI rate ke BI 7 Days reverse repo rate. Menurut Agus, imbas dari kebijakan itu akan berlanjut di level perbankan pada tahun ini seusai mereka membereskan kredit seret masing-masing.
Ia mengatakan, pada 2016 suku bunga deposito turun 137 basis poin. Namun, suku bunga kredit baru turun 67 basis poin sehingga masih ada peluang untuk kembali turun. “Tentu setelah bank secara umum stabil,” ujarnya. (**)