Kekeringan ekstrem yang melanda berbagai belahan dunia telah menyebabkan puluhan juta orang di ambang kelaparan. Kondisi ini memperkuat sinyal bahwa krisis global akibat perubahan iklim semakin nyata dan mengkhawatirkan.
Laporan terbaru dari Pusat Mitigasi Kekeringan Nasional AS (NDMC), Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan (UNCCD), dan Aliansi Ketahanan Kekeringan Internasional mengungkapkan bahwa lebih dari 90 juta orang di kawasan Afrika Timur dan Selatan menghadapi kelaparan ekstrem.
Di Somalia, seperempat penduduk kini terancam kelaparan, dengan lebih dari satu juta orang telah mengungsi akibat krisis ini.
Direktur NDMC, Mark Svoboda, menyebut fenomena ini bukan sekadar musim kemarau, melainkan bencana global yang bergerak lambat. “Ini adalah kekeringan paling parah yang pernah saya saksikan,” ujarnya.
Dampak kekeringan telah dirasakan selama bertahun-tahun. Di Afrika Selatan, seperenam penduduknya memerlukan bantuan pangan. Di Zimbabwe, panen jagung anjlok 70% dan 9.000 ekor ternak mati akibat kelangkaan air dan pakan.
Situasi serupa juga terjadi di berbagai wilayah dunia. Di Amerika Latin, permukaan air Terusan Panama menurun drastis, menyebabkan penurunan lalu lintas kapal hingga sepertiganya antara Oktober 2023 dan Januari 2024. Kondisi ini turut mengganggu perdagangan global dan meningkatkan biaya logistik.
Di Maroko, enam tahun kekeringan berturut-turut menimbulkan defisit air sebesar 57%. Sementara di Spanyol, produksi zaitun anjlok 50%, menyebabkan harga minyak zaitun melonjak dua kali lipat. Turki menghadapi degradasi lahan serius, dengan 88% wilayahnya terancam penggurunan akibat ekstraksi air tanah yang berlebihan.
“Kondisi di Spanyol, Maroko, dan Turki adalah gambaran masa depan bagi dunia jika pemanasan global tak dikendalikan,” tambah Svoboda.
Fenomena El Niño dalam dua tahun terakhir memperburuk kondisi ini, memperkuat tren pemanasan dan menimbulkan kekurangan pasokan air, makanan, serta pembatasan energi di banyak negara.
Laporan ini juga mencatat bahwa kekeringan telah mengganggu rantai pasokan komoditas global. Kekeringan di India dan Thailand, misalnya, telah menyebabkan lonjakan harga gula sebesar 9% di Amerika Serikat.
Krisis air global juga kian mendesak. Studi sebelumnya memperkirakan permintaan air tawar akan melampaui pasokan sebesar 40% pada akhir dekade ini. Dalam 25 tahun ke depan, lebih dari setengah produksi pangan dunia berisiko gagal.
Laporan lain menyebutkan pencairan es gletser yang belum pernah terjadi sebelumnya mengancam pasokan air dan pangan bagi dua miliar orang. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan biaya ekonomi akibat kekeringan akan meningkat 35% pada tahun 2035 dibanding saat ini.
Sekretaris Eksekutif UNCCD, Ibrahim Thiaw, menegaskan bahwa kekeringan adalah “pembunuh diam-diam” yang perlahan menggerus sumber daya dan kehidupan. “Kekeringan bukan lagi ancaman masa depan. Ia sudah hadir dan menuntut kolaborasi global yang nyata,” katanya.
Thiaw memperingatkan bahwa jika dunia tak segera bertindak, kombinasi kelangkaan air, pangan, dan energi dapat memicu kehancuran sosial yang lebih luas. “Itulah normal baru yang harus kita hadapi bersama,” pungkasnya.***
– The Guardian