EKONOMIPOS.COM – Seperti diketahui Pemerintah Pusat resmi memperpanjang Perberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Semula dengan mengusung nama PPKM Darurat dan telah berakhir pada 25 Juli lalu. Awalnya diberlakukan di Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali lalu diperluas ke daerah lain. Perpanjangan PPKM lagi-lagi berganti nama, meniru tren Covid 19 yang punya varian, dengan mengusung PPKM Level 3 dan 4. Dari informasi resmi, sejumlah aturan disesuaikan di PPKM terbaru. Kebijakan diterapkan secara luas di Indonesia yang memiliki nilai asesmen level 4 dan 3, tergantung jumlah kasus terinfeksi dan kematian akibat wabah. Untuk Provinsi Riau hingga kini kebanyakan kabupaten/kota masih memberlakukan PPKM mikro, mengikuti kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau sejak Mei 2021. Harapan Gubernur Syamsuar PPKM Darurat tak diberlakukan di Riau akhirnya pupus sehubungan ditetapkannya Kota Pekanbaru sebagai satu dari 37 kabupaten/kota yang menerapkan PPKM level 4.
Pembatasan lebih ketat yang berlangsung dua pekan ke depan tentu sangat tidak kita inginkan. Mengingat dampaknya terhadap aktivitas sosial dan usaha masyarakat. Baik itu beribadah, kembali ditundanya sekolah tatap muka dan sisi ekonomi. Terlebih bagi pekerja sektor informal dan warga berpendapatan harian dan terdampak langsung pandemi serta yang terkena PHK. Kebijakan Pemerintah memberi “kelonggaran” atau relaksasi dalam PPKM terbaru patut diapresiasi. Dengan mengizinkan sektor pedagang dan usaha kecil, supermarket, pasar tradisional, toko klontong dan swalayan baik itu beroperasi hingga waktu yang ditentukan dengan pembatasan. Namun kebijakan tadi semoga bukan untuk “main aman”, guna meminimalisir tanggungjawab untuk meringankan beban masyarakat efek pembatasan. Praduga wajar muncul mengingat banyaknya kritikan atas kegemaran Pemerintah gonta-ganti istilah mulai PSBB hingga PPKM. Padahal secara regulasi sudah ada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang lebih tepat dan efektif mengatasi pandemi namun sama sekali tak pernah dilirik. Sebab konsekuensi penerapan UU dimaksud mewajibkan Pemerintah wajib menanggung kebutuhan rakyat selama masa karantina. Seperti hitung-hitungan dengan urusan rakyat atau ini membuka tirai masalah keuangan negara yang selama ini selalu disembunyikan?
Teladan
Masyarakat sudah kenyang bahkan jenuh dengan berbagai istilah pembatasan sosial yang terus berganti akan tetapi nyaris tanpa progress. Termasuk PPKM Darurat yang berakhir 26 Juli lalu. Saat berjalan sembilan hari di Jawa-Bali saja kasus penularan tak kunjung turun. Beberapa kali tercatat kasus harian dan kasus kematian saat PPKM Darurat berlangsung. Bahkan pada 7 Juli, pasien Covid-19 yang meninggal mencapai 1.040 orang, tertinggi selama pandemi. Anggaran pun semakin bertambah. Banyak pihak mengkambinghitamkan kedisiplinan masyarakat. Tudingan tersebut dirasa tidak fair. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan tidak bisa berdiri sendiri. Tapi juga ditentukan sejauhmana penegakan aturan dapat konsisten dan tidak tebang pilih, berperikemanusiaan serta rasional. Selagi penengakan hukuman atas pelanggaran Prokes masih timpang dan tak berkeadilan, sulit berharap masyarakat disiplin dan patuh. Menko Marves sekaligus Koordinator penanganan Covid-19 Jawa-Bali Luhut Binsar Panjaitan sendiri terang-terangan mengakui melonjaknya kasus akibat pemimpin tak memberi contoh. Kita tak peduli kepada siapa statement tersebut ditujukan. Intinya pernyataan tadi salah satu faktor kenapa penanganan pandemi tak terkendali.
Hal lain yang juga patut disesalkan adalah perihal cara dan pendekatan pejabat Pemerintahan dan tokoh penting yang seringkali tidak mencerahkan dan tidak mendidik. Munculnya istilah seperti herd stupidity dan istilah lain yang merendahkan dipandang tak etis. Boro-boro mendidik masyarakat untuk sadar dan taat Prokes, gaya bahasa bernada merendahkan, mengancam dan menakut-nakuti tampak kekanak-kanakan dan dikhawatirkan malah menuai persepsi negatif hingga pembangkangan sosial. Apalagi di saat mobilitas dan usaha masyarakat dibatasi, berseliweran kabar di media massa soal terbukanya arus penerbangan dari luar negeri. Ribut-ribut TKA Cina dan WN India contohnya. Bahkan pemberitaan menyebut varian delta berasal dari WN India yang masuk ke Indonesia.
Alokasi Anggaran
Disamping hal diatas, aspek mendasar lain yang menentukan adalah alokasi dan keberpihakan anggaran. Kami di lembaga legislatif terus terang belum melihat totalitas dari pihak eksekutif. Kebijakan pembatasan sosial apapun bentuknya, kesannya sekedar melegalisasi anggaran melalui refocusing semata. Implementasinya nyaris tak terukur dan tanpa dibarengi koordinasi yang baik. Terbukti sering saling lempar tangan antara Pemprov Riau dan Pemkab/Pemko. Berikutnya, alokasi dan fokus anggaran pusat hingga daerah pun menuai banyak pertanyaan. Untuk alokasi misalnya, data dari Kemendagri mengungkap bahwa total APBD yang dialokasikan untuk penanganan pandemi Covid-19 tahun ini Rp42,15 triliun. Angka tersebut terbilang kecil dibandingkan APBD dari 493 daerah provinsi maupun kabupaten/kota seluruh Indonesia yang totalnya mencapai hampir Rp1.000 triliun. Untuk APBD Provinsi Riau alokasi penanggulangan Covid-19 kalah dibanding provinsi tetangga. Sudahlah anggaran terbatas realisasi pun tak maksimal.
Lanjut ke fokus anggaran juga buyar. Banyak program tak berdampak langsung terhadap pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat selama pandemi tetapi dipertahankan. Entah itu pembangunan infrastruktur semisal gedung, tugu dan lain-lain yang sebenarnya bisa ditunda. Begitupula berupa program kerja yang bersifat nasional seperti Kartu Prakerja yang tercatat anggarannya terus bertambah dengan total mencapai Rp31,2 triliun. Mirisnya penambahan anggaran berasal dari sisa anggaran Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang tak terserap di tahun sebelumnya. Padahal BLT prioritas dan dibutuhkan. “Wabah” rendahnya sense of crisis dalam manajemen anggaran inilah yang berbahaya. Karena memperparah keadaan dan membuat berbagai upaya penanganan pandemi menjadi tidak efektif, terutama pembatasan sosial. Bagaimana mungkin masyarakat diminta berdiam di rumah dan dibatasi usahanya sementara negara tidak bisa memberi ketenangan bagi rakyatnya terutama terkait kebutuhan mendasar? Ini jelas tidak sejalan dengan nilai-nilai terkandung dalam Pancasila. ***
SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi ekonomipos.com