Bintang Tiap Hari Jalan 7 KM di Tanah Lumpur sambil Jualan Molen Ke Sekolah

by
(Foto: Okezone)

EKONOMIPOS.COM (EPC) – ADA yang menarik dari bocah sembilan tahun ini. Memiliki semangat yang tinggi, ia harus berjuang setiap hari berjalan sejauh tujuh kilometer di jalan berlumpur sambil jualan kue molen.

Di usianya yang masih belia, Bintang Febri Riam Saputra mengurangi waktu untuk bermain. Dia ikut membantu orangtuanya mencari rezeki untuk menyambung hidup keluarganya.

Bintang adalah satu dari sekian anak-anak yang ikut orangtuanya dalam program transmigrasi di Kayong Utara. Di kabupaten ke 13 di Provinsi Kalbar ini, dia tinggal di pemukiman transmigrasi di Dusun Semanai, Desa Simpang Tiga, Sukadana.

Pemukiman ini baru dibuka Pemkab Kayong Utara dan mulai ditempati warga trans dari luar dan lokal pada akhir tahun 2016 lalu. Bintang merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Ia satu-satunya anak dari pasangan Edison dan Rustini yang mengenyam pendidikan di bangku sekolah.

Kakaknya, Riska Amalia kabarnya sudah putus sekolah. Sedangkan dua adiknya, Riski Kurniawan Alfaros dan Radit Aditya Teguh Wijaksono belum masuk usia sekolah.

Saat ini Bintang duduk di bangku kelas III di SDN 07 Semanai. Sadar melihat kondisi orangtuanya yang memulai hidup dari nol, Bintang berbeda dengan kebanyakan anak-anak seusianya yang umumnya senang menghabiskan waktu dengan bermain.

Bocah pendiam ini terlihat mandiri. Tak menyia-nyiakan waktu dengan bermain, juga tidak banyak permintaan kepada kedua orangtuanya.

Terbukti, tiap hari ke sekolah ia berjalan kaki, walau harus berjalan di atas jalan yang berlumpur sepanjang tujuh kilometer (pulang-pergi).

Tak peduli hujan atau teriknya matahari, Bintang tidak ragu mengayunkan kakinya demi cita-cita menjadi guru dan membanggakan kedua orangtuanya.

Maklum, orangtuanya bekerja sebagai petani, belum mampu membelikan sepeda. Karena masih belum memetik hasil dari tanaman yang mereka tanam.

Tak hanya tas yang berisikan buku yang Bintang gendong ketika pergi ke sekolah. Setiap hari dia menjinjing kantong plastik hitam.

Di sepanjang jalan hingga tiba ke sekolah Bintang menjual kue molen. Kue berbahan pisang yang dibungkus tepung lalu digoreng ini, menjadi salah satu sumber pendapatan baginya untuk keluarga.

Bintang menuturkan, kalau kue yang dijual seharga Rp1.000 itu dibuat oleh ibunya. Tiap hari dirinya membawa 20 hingga 30 biji kue molen untuk dijual.

“Terkadang habis, namun sering juga masih tersisa,” kata Bintang.

Ketika ditanya apakah tidak malu jualan kue sepanjang jalan menuju ke sekolah? Bintang menjawab, itu sudah menjadi kewajibannya.

Hasil jualan itu digunakan orangtuanya untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga. “Hasilnya digunakan untuk belanja dan sesekali untuk jajan di sekolah,” ucap bocah yang bercita-cita menjadi guru ini.

Kendati masih bocah, Bintang kembali melanjutkan pembicaraan yang seakan sudah seperti berumur dewasa. Diakuinya, kalau kehidupan orangtuanya saat ini masih susah.

Bagaimana tidak, ia bersama saudara dan kedua orangtuanya belum lama tinggal di perkampuangan transmigrasi.

“Orangtua saya baru memulai menggarap lahan dan belum membuahkan hasil. Sedangkan untuk mengharapkan Jadup (jatah hidup) hanya dapat sebagian kebutuhan seperti beras, ikan asin dan sejumlah barang lainnya. Sedangkan untuk garam, micin dan bumbu lainnya tidak ada, maka hasil dari jualan molen ini untuk melengkapi kebutuhan keluarga,” papar Bintang yang terlihat bijaksana.

Terpisah, Motivator Transmigrasi Desa Simpang Tiga, Sahperi menjelaskan, Bintang memang anak yang giat.

Dia cerita, suatu hari dia pernah membonceng Bintang menggunakan sepeda motor dari perkampungan transmigrasi menuju SDN 07 Semanai.

Namun belum sampai di sekolah, Bintang meminta izin diturunkan, ketika masuk perkampungan Parit Sawah.

“Jadi saya tanya ke dia (Bintang) kenapa turun di sini (Parit Sawah, red). Jadi jawab Bintang, karena dia mau sambil jualan kue sebelum tiba di sekolah,” kisah Sahperi yang juga Kasi Kesejahteraan Pemerintah Desa Simpang Tiga.

Dikatakannya lagi, Bintang dan keluarganya merupakan penduduk transmigrasi Desa Simpang Tiga yang berasal dari Lampung.

Kedua orangtua Bintang, Edison dan Rustini sengaja memilih masuk transmigrasi, karena tidak memiliki tempat tinggal di Lampung.

“Di sana (Lampung, red), mereka hanya tinggal di rumah kontrakan dan tak memiliki tanah. Jadi mereka ingin hijrah ke sini (Kayong Utara, red) untuk meningkatkan taraf hidup,” ujar Sahperi yang mengaku sering ke perkampungan transmigrasi dan berbicara dengan keluarga Bintang.

Sementara Kepala Desa Simpang Tiga, Rajali menambahkan, jumlah Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di perkampungan transmigrasi Dusun Semanai sebanyak 150 KK. Terdiri dari 75 KK dari penduduk luar Kayong Utara dan 75 KK merupakan warga lokal.

“Yang dari luar berasal dari berbagai daerah. Diantaranya sejumlah daerah dari Jawa Tengah, Jawa Barat dan ada juga dari Lampung dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka semua berbaur dan mudah menyatu dengan warga lokal. Hingga sekarang, mereka terlihat betah,” tutup Rajali. (**)