EKONOMIPOS.COM-PEKANBARU Rupiah kembali melanjutkan pelemahannya. Menutup perdagangan di Februari, Selasa (28/2), kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) terpuruk 0,42 persen ke level Rp13.707 per dolar Amerika Serikat. Itu adalah angka terendah rupiah sepanjang 2018 dan sejak setahun terakhir.
Pada awal tahun, rupiah masih berada di Rp 13.300 hingga Rp13.500 per dolar Amerika Serikat. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menuturkan, rupiah akan terus melemah hingga Maret.
Bahkan, dia memproyeksikan nilai tukar rupiah sangat mungkin menembus batas psikologis Rp14.000 per dolar ketika The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga acuannya.
”Pelemahan rupiah ini salah satunya karena gubernur Fed yang baru Jerome Powell dalam keterangan resminya memang mengisyaratkan suku bunga akan naik dalam waktu dekat,” ujarnya, Rabu (28/2).
Bhima melanjutkan, pasar memang sudah menebak Maret akan ada kenaikan pertama. Bahkan, kenaikannya bisa sampai tiga kali tahun ini. Hal tersebut dikonfirmasi Powell bahwa Fed solid melakukan pengetatan moneter dan normalisasi balance sheet.
Kebijakan Fed itu juga memicu bank sentral negara maju seperti European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan (BOJ) melakukan pengetatan moneter. ”Efek snowball ini yang dikhawatirkan pelaku pasar,” lanjutnya.
Efek berikutnya, kata Bhima, adalah yield surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun meloncat ke 2,9 persen. Itu merupakan angka tertinggi dalam empat tahun terakhir. Hal tersebut secara otomatis membikin yield spread dengan surat berharga negara (SBN) Indonesia makin sempit.
”Investor akhirnya mencatat penjualan bersih dan memburu surat utang Amerika Serikat. Aliran modal asing keluar dari pasar modal Indonesia saat ini mencapai Rp8,1 triliun sejak awal 2018,” imbuhnya.
Senada dengan Bhima, ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail mengatakan, pasar sudah berekspektasi mengenai kenaikan suku bunga The Fed. ”Potensi berlanjutnya kenaikan imbal hasil US treasury diproyeksi akan memicu pelemahan rupiah dan menyebabkan kenaikan imbal hasil SUN (surat utang negara, Red),” tuturnya.
Analis senior Binaartha Sekuritas Reza Priyambada menambahkan, antisipasi terhadap rilis inflasi dalam negeri membuat pelaku pasar cenderung memilih dolar Amerika Serikat. Pergerakan rupiah diperkirakan kembali melanjutkan pelemahannya seiring masih meningkatnya permintaan akan dolar Amerika Serikat dalam menanggapi testimoni The Fed.
Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengatakan, naiknya yield alias imbal hasil surat utang AS berpotensi membuat dana-dana asing di Indonesia kembali ke AS. Menurut Agus, setelah FOMC (Federal Open Market Committee) menggelar rapat pada pekan ketiga Maret mendatang, barulah rupiah kembali stabil. ”Menjelang Maret, Juni, dan Desember pasti akan ada volatilitas,” lanjut Agus.
Meski cenderung volatil, Agus menilai selama tiga tahun terakhir likuiditas pasar keuangan Indonesia cukup baik. Cadangan devisa Indonesia juga meningkat dari 116 miliar dolar Amerika Serikat pada Januari 2017 menjadi 131,98 miliar dolar Amerika Serikat pada Januari 2018.(*)